Sabtu, Agustus 29, 2009

Jadilah Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok." Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun.... Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."

Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama." Senyap sejenak... secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya...," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa melihat. Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.. Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita.. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana. Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi. 

kiriman Sugiarto

Kemarahan

Marah...
Marah Bukanlah respon yang cerdas. Org bijak selalu bahagia. dan orang yang bahagia tak akan marah. marah terutamanya adalah tidak masuk akal.

Suatu hari mobil kami berhenti di lampu merah di samping ada sebuah mobil lainnya. Saya memperhatikan pengemudi mobil itu mamaki-maki lampu merah: " Kamu lampu brengsek! Kamu tau aku ada janji penting! Kamu tau sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depan ku lewat. Dasar babi!

Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu merah memang sengaja menyakitinya: "Aha!! ini dia datang. aku tahu dia terlambat. Aku akan membiarkan mobil lain lewat dulu. lalu… MERAH!! Berhenti!! kena dia!! Si lampu merah mungkin tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu aja. Apa sih yg anda harapakan dari sebuah lampu merah?

Dan saya bisa membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, "Kamu suami brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tau tidak boleh terlambat dan kamu malah mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yg pertama kali…
Si istri menyalahkan suaminya. Seolah-olah si suami punya banyak pilihan. 

Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya. "Aha! aku ada janji penting ma istriku. Aku akan terlambat! Kena dia! parah suami mungkin tampak jahat. tapi mereka hanyalah para suami, itu saja! apa sih yang anda harapkan dari para suami?


Konsekuensi Lain dari kemarahan yang harus kita camkan dalam pikiran yaitu bahwasannya kemarahan menghancurkan hubungan dan memisahkan kita dari teman-teman kita. Mengapa setelah melewatkan tahun-tahun penuh kebahagian bersama seorg kawan, namun ketika suatu kali dia melakukan suatu kesalahan yang sangat menyakiti hati, kita menjadi begitu marahnya sampai-sampai menyudahi hubungan kita untuk selama-lamanya? Seluruh momen indah yg kita lewatkan bersama (998 bata bagus) di anggap tidak pernah ada. Kita hanya melihat satu kesalahan mengerikan (2 bata jelek) dan menghancurkan segalanya. Rasanya itu kok tidak adil. JIKA MEMANG INGIN KESEPIAN, PUPUK SAJA KEMARAHAN.

diambil dari 
Kisah2 Inspiratif
Ajahn Brahm (Membuka Pintu Hati)