Senin, April 05, 2010

Belitung

GENERAL CONDITION OF BELITUNG ISLAND

Belitung is an Island in South East Asia, a part of Nation archipelago. Belitung is ruled by Indonesia since 1950 and became a district of South Sumatra province. On November 21st, 2000, Belitung and Bangka Island has been approved to become the 31st province of Indonesia separated from South Sumatra. This new province is called ‘Kepulauan Bangka Belitung’ province. This Island is placed at 107o 35' - 108o 18' Latitude and 2o 30' - 3o 15' Longitude.

The length of the diameter from East to West is about 79 km and North to South about 77 km. The total land is 480.060 hectares with 189 small islands surround Belitung. Some of them are quite big with a couple of villages. They are Mendanau Island, Seliu Island, Nadu Island and Batu Dinding Island. Most of Belitung population is come of Melayu ethnic and most of them are Moslem. There are some other ethnics likes Chinese, Javanese, Balinese and some people from Sumatra like Palembang, Minang and Batak. Belitung regency consists of 9 districts and 69 villages. The capital of Belitung is Tanjungpandan, which stay at North West of this Island. The other large towns are Manggar, Gantung, Kelapa Kampit and Sijuk. The main resources, which also become the main product of Belitung Island, are tin mining, kaolin, quartz sands, and granite rock. The plantation are mainly palm oil, pepper, coconut, coffee, natural rubber, and vegetable.

If seen from its tourism sector, Belitung is an island with beautiful beaches, the unique landscape with its purely white sand, and the crystal clear seawater. Belitung is also popular with its granite boulder white stones beach in Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Tanjung Binga dan Lengkuas Island. This beautiful nature is also accompanied by hundreds of small islands, which add the beautiful tourism area in Belitung Island. Belitung Island is one of the best and unique beaches own in Indonesia.

Geographically
North coast of the island is South China Sea, Java Sea on the South coast, Kari Mata strait on the East close to Borneo Island and Gaspar strait on the West close to Bangka island. The land is about 4833 square km, 89 km long (East to West) and 69 km wide (North to South) with diversified terrain, hilly areas and extensive tracks of marshland. The climate is tropical, temperature around 27 - 31 C degree during the day and 23 - 25 C degree during the night. There only 2 season a year, rainy season (120mm) from October to April and hot season during April to October. The highest land is Tajam Mountain, only 500m above the sea. The others are just a hill likes Burung Mandi, Kubing, Kik Karak, Peramun, Selumar, Guda, ect.
The land surface is originally tropical forest, but since the development palm oil industry in 1992 more than 40% of the surface are palm oil plantation.

Sabtu, Agustus 29, 2009

Jadilah Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok." Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun.... Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."

Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama." Senyap sejenak... secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya...," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa melihat. Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.. Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita.. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana. Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi. 

kiriman Sugiarto

Kemarahan

Marah...
Marah Bukanlah respon yang cerdas. Org bijak selalu bahagia. dan orang yang bahagia tak akan marah. marah terutamanya adalah tidak masuk akal.

Suatu hari mobil kami berhenti di lampu merah di samping ada sebuah mobil lainnya. Saya memperhatikan pengemudi mobil itu mamaki-maki lampu merah: " Kamu lampu brengsek! Kamu tau aku ada janji penting! Kamu tau sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depan ku lewat. Dasar babi!

Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu merah memang sengaja menyakitinya: "Aha!! ini dia datang. aku tahu dia terlambat. Aku akan membiarkan mobil lain lewat dulu. lalu… MERAH!! Berhenti!! kena dia!! Si lampu merah mungkin tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu aja. Apa sih yg anda harapakan dari sebuah lampu merah?

Dan saya bisa membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, "Kamu suami brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tau tidak boleh terlambat dan kamu malah mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yg pertama kali…
Si istri menyalahkan suaminya. Seolah-olah si suami punya banyak pilihan. 

Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya. "Aha! aku ada janji penting ma istriku. Aku akan terlambat! Kena dia! parah suami mungkin tampak jahat. tapi mereka hanyalah para suami, itu saja! apa sih yang anda harapkan dari para suami?


Konsekuensi Lain dari kemarahan yang harus kita camkan dalam pikiran yaitu bahwasannya kemarahan menghancurkan hubungan dan memisahkan kita dari teman-teman kita. Mengapa setelah melewatkan tahun-tahun penuh kebahagian bersama seorg kawan, namun ketika suatu kali dia melakukan suatu kesalahan yang sangat menyakiti hati, kita menjadi begitu marahnya sampai-sampai menyudahi hubungan kita untuk selama-lamanya? Seluruh momen indah yg kita lewatkan bersama (998 bata bagus) di anggap tidak pernah ada. Kita hanya melihat satu kesalahan mengerikan (2 bata jelek) dan menghancurkan segalanya. Rasanya itu kok tidak adil. JIKA MEMANG INGIN KESEPIAN, PUPUK SAJA KEMARAHAN.

diambil dari 
Kisah2 Inspiratif
Ajahn Brahm (Membuka Pintu Hati)

Sabtu, Juni 06, 2009

Sesama Bis Kota Dilarang Saling Mendahului

"Sesama Bis Kota, Dilarang Saling Mendahului". Anda pernah mendengar kalimat itu? Mungkin pada awalnya kalimat itu dibuat untuk mengingatkan para sopir bis kota supaya tidak ngebut atau balap-balapan dengan bis kota yang lainnya. Sehingga, kalimat itu jelas tertulis dikaca belakang setiap bis kota. Lama kelamaan, kalimat itu menjadi begitu populer seolah ingin mengingatkan kita supaya tetap menjaga norma dan etika ketika sedang bersaing.

Semakin tinggi tingkat persaingan, semakin besar peluang untuk saling menyerang. Bahkan, tak jarang kita saling menjatuhkan.Persaingan tidak hanya terjadi untuk memperebutkan kursi kepresidenan. Melainkan juga pada semua sektor kehidupan. Persaingan bisnis, terjadi setiap hari. Persaingan dengan teman dikantor, seolah tidak kenal henti. Bahkan persaingan untuk memperebutkan seorang pacar, bukan peristiwa yang langka. Pendek kata, kita seolah hidup dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan. Sampai-sampai, ada orang yang berkeyakinan; "kalau hidup tidak mau bersaing, maka kita bakal tersingkirkan. ". Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita sering menemukan orang melakukan apa saja untuk memenangkan persaingan.

Dikantor, persaingan sering melahirkan hubungan yang tidak harmonis diantara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Bahkan, antara bos di divisi yang satu dengan bos di divisi yang lain. Akhirnya, anak buah mereka juga mau tidak mau ikut terlibat didalam persaingan tidak sehat itu. Walhasil, hubungan diantara kedua divisi tidak pernah berjalan mulus. Ada saja kata-kata sindiran, memojokkan atau usaha-usaha penjegalan satu sama lain. Meskipun mereka bertemu setiap hari, mereka enggan untuk sekedar saling bertegur sapa.Tetapi, apakah persaingan selalu berdampak seburuk itu? Tidak juga. 

Persaingan yang sehat bersifat positif. Bahkan, orang-orang yang bersaing secara sehat dapat mengambil manfaat dari proses persaingan itu. Sebab, persaingan yang sehat memiliki beberapa ciri unik yang semuanya bermotif positif. Ciri-ciri itu antara lain;
Pertama, orang-orang yang bersaing saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Kedua, orang-orang yang bersaing memiliki pertalian batin dan hubungan pribadi yang baik.
Ketiga, orang-orang yang bersaing menerima dengan legowo kemenangan temannya.
Keempat, orang yang kalah bersaing mendedikasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk mendukung kemenangan temannya.
Kelima, orang yang menang bersaing menjaga perasaan dan merangkul temannya yang kalah untuk berbagi kemenangan dengannya.Sedangkan persaingan yang didasari oleh rasa iri dan keserakahan justru menyebabkan perpecahan dan suasana yang merugikan bagi perusahaan.

Sebab, orang-orang yang dirinya diliputi oleh keserakahan selalu ingin menguasai segala hal indah sendirian. Orang semacam ini, tidak akan puas oleh jabatan atau penghasilan yang mereka dapatkan. Selama masih ada orang lain yang lebih dari dirinya, dia akan terus berusaha mengalahkannya. Perasaan iri, sama berbahayanya. Orang-orang yang memelihara rasa iri tidak pernah senang melihat keberhasilan orang lain. Sehingga dia melakukan cara apapun untuk menjatuhkan.

Namun, mengapa hanya 'sesama bis kota' yang dilarang saling mendahului? Apakah bis kota boleh 'mendahului angkot', misalnya? Didalam konteks kehidupan manusia, ternyata memang persaingan tidak sehat itu terjadi diantara orang-orang yang berada dalam 'satu komunitas' atau 'satu profesi'. Misalnya, karyawan iri kepada sesama karyawan. Mereka tidak iri kepada pedagang di pasar. Sebaliknya, pedagang di pasar, iri pada temannya sesama pemilik kios di pasar. Artis iri kepada artis. Pelajar iri kepada pelajar. Trainer, iri kepada trainer. Teman iri kepada teman. Dan sebagainya. Kemudian, dari perasaan iri itu muncullah sifat antipati. 

Dan ketika seseorang memiliki sikap antipati, maka pasti dia tidak akan pernah bersedia untuk mengulurkan tangan dengan tulus ketika temannya membutuhkan bantuan. Padahal bukankah Tuhan menciptakan kita untuk saling menolong satu sama lain? Jika demikian, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk mengikis habis semua perasaan iri yang masih tersisa didalam hati

Diambil dari Milis LCI D307B" , "Milis Akuntansi 98" , "Milis Smudabaya98" ,