Senin, Februari 16, 2009

TOPENG


My Mask
I hide behind a mask
You can’t see my face
Looking at first glance
I’m in a happy place
The truth is, that’s a lie
But you can’t really tell
that in the back of my mind
I think the world should rot in hell
What’s the point of living
If we are all going to die
What’s the point of being happy
If in the end we’re going to cry
But this is something no one sees
This is something no one knows
And yet deep inside of me
This feeling of hatred grows
So even though this mask reveals a happy side of me,
I use the mask as a shield to look at what others can never see.
by Jamila Rashid


Saya sempat terkejut ketika mendengar cerita seorang teman mengenai suaminya. Tak lama setelah pernikahan mereka, sifat suaminya berubah 180 derajat. Dari yang tadinya kelihatan pasrah, tenang, penyayang, dan kalem, menjadi tukang mengancam, suka memerintah, dan sering marah-marah.

Sang istri berusaha lebih sabar, mengalah, dan mencoba memahami perilaku suaminya, serta mulai mengurangi marah-marah dan tidak menuntut. Ia berusaha mengubah diri menjadi istri yang lebih baik.

Nyatanya, tingkah suaminya makin menjadi-jadi. Makin tak peduli. Padahal di lingkungan sosial, sang suami merupakan orang yang dianggap baik, taat beribadah, dan karyawan yang penurut. Ia juga selalu mengikuti kemauan/permintaan orang lain.

Teman saya tadi hanya bisa bertahan. Ia berusaha sabar dan berharap suaminya berubah. Apa yang sebenarnya terjadi kepada suaminya? Adakah sesuatu yang disembunyikannya, apakah ada gangguan jiwa, atau … entah apa lagi.

Suami teman saya tadi di depan orang lain seperti mengenakan topeng. Ketika ia merasa lelah dengan topeng tersebut, istrinya seolah-olah menjadi tempat pelampiasan amarah dan kekecewaan.

Lain halnya dengan kisah rekan saya yang lain. Ia mengaku lelah karena harus berpura-pura dan bermuka manis di depan atasannya. Alasannya, karena untuk kelangsungan karier.

“Kalau tidak begitu gimana dong…ntar nggak dapat promosi. Tapi, lama-lama capek juga yah…,” katanya. Ia menceritakan bahwa dalam keseharian harus menyetujui atasan, rela diperlakukan apa pun. Di kantor, ia seperti terbelenggu. Beruntung, saat sampai di
rumah, “topeng” tadi terlepas. “Di rumah bisa ngomongin rasa kesal dan ketidaksetujuan dengan bebas,” lanjutnya.

Abimanyu

Ada kalanya manusia mengenakan “topeng” dalam kehidupannya. Kita ingin diakui atau tampak baik di depan banyak orang.

Ingin Tampak Baik

Dua contoh tadi mungkin pernah atau tengah kita alami. Ada kalanya manusia mengenakan “topeng” dalam kehidupannya. Kita ingin diakui atau tampak baik di depan banyak orang. Kita berusaha keras menekan segala rasa marah, keinginan untuk mengeluarkan pendapat kita, dan (terpaksa) pasrah.

Hal tersebut dilakukan, bisa karena rasa tidak enak, ada tujuan tertentu (dalam kasus ke-2 karena karier), atau mau merasa aman. Padahal, sebenarnya dalam hati, kita tidak rela atas keadaan tersebut.

Meski merasa tak rela, wajah dan perilaku kita menyatakan lain. Memang, pada akhirnya banyak orang mengakui kebaikan dan kesabaran kita. Namun, hal tersebut dapat membuat kita menjadi lebih tertekan.

Dalam kasus di atas, saya juga tidak mengetahui dengan pasti, apa yang dirasakan suami teman saya. Saya juga tidak mengetahui, mengapa ia berubah. Saya juga tidak berani menganggap bahwa ia mengalami gangguan jiwa, karena hal tersebut memerlukan diagnosa. Secara awam, saya merasa ia menggunakan “topeng” dan pada akhirnya topeng
tersebut malah membebaninya. Sayangnya, beban dan rasa putus asa tersebut ditimpakan kepada orang lain yang dianggap tidak berdaya.

Kasus ke-2 lebih umum ditemui. Sering terjadi di antara kita. Namun, masih ada tempat untuk menjadi diri sendiri, seperti teman, dan lingkungan keluarga. “Topeng” dikenakan sementara, namun pada akhirnya melelahkan si empunya juga.

Kadang, ada orang yang berpendapat bahwa dalam kehidupan, kita perlu berganti-ganti “topeng”. Nyatanya, “topeng” adalah sesuatu yang membebani. Membuat orang merasa pengap, dan sesak. Di sisi lain, membatasi ruang gerak individu.

Dengan topeng, individu tidak mampu mengekspresikan diri. Yang diekspresikan adalah diri yang palsu. Ia kehilangan dirinya yang sebenarnya.

Individu dengan berbagai topeng akan merasa kelelahan. Ia berusaha menyenangkan setiap orang, berusaha tampak baik di hadapan semua orang, berharap diterima dan disukai oleh orang lain. Tanpa ia sadari, topeng yang ia kenakan juga dapat melukai orang lain.

Menjadi Diri Sendiri 

Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan adalah hal yang baik. Tetapi, tentu saja hal tersebut dilakukan tanpa harus mengorbankan perasaan dan kepentingan diri. Kadang, kita memang harus berani menentang arus, mengeluarkan pendapat, dan berperilaku apa adanya. Mungkin orang lain belum tentu menyukai hal tersebut, namun bila hal itu dilakukan, karena merupakan sesuatu yang memang benar, mengapa
kita harus khawatir?

Dengan menjadi diri kita sendiri, individu menjadi individu yang sehat. individu dapat mengekspresikan diri secara tepat dan mengembangkan dirinya. Setiap tindakan yang dilakukan merupakan cermin dari keadaan dirinya.

Tentu saja, seiring dengan bertambahnya usia, maka kita semakin matang dalam hal menjadi diri sendiri, semakin bijaksana dalam pikiran, tindakan, dan menjadi bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Bukan sebaliknya, semakin tua malah makin dalam
terperangkap dalam ke-pura-puraan.

Kita juga berhak untuk asertif, menolak, atau mengatakan tidak dengan alasan dan cara yang tepat. Jangan sampai, usaha kita untuk menyenangkan semua orang dan dianggap baik, malah menjadi batu sandungan bagi diri sendiri. Kebaikan, bahkan segala sesuatu, harus dilakukan dengan tulus. Bukan karena ingin terlihat baik.

Bila kita memang pribadi yang lurus, dan benar, maka orang akan melihat sinar kebaikan itu sendiri tanpa kita harus bersusah payah.

Sudah siapkah Anda melepas topeng Anda dan menampilkan diri Anda apa adanya?

Sumber: Topeng oleh Clara Moningka, Kepala Lembaga Pelayanan Psikologi dan Dosen Fakultas Psikologi UKRIDA Jakarta

Disalin dari

http://bocahklene.blog.telkomspeedy.com/2009/02/16/topeng/#more-206

Tidak ada komentar: